Minggu, 19 Januari 2025

Komponis Ananda Sukarlan Perdanakan Musiknya dari Puisi D.Zawawi Imron, Sastrawan Adiluhung 2024

Jakarta- Di konser pertamanya tahun ini, Komponis & Pianis  Ananda Sukarlan mengadakan konser dengan memperkenalkan para pemenang kompetisi musik klasik paling bergengsi di Indonesia, Ananda Sukarlan Award (ASA) dan juga Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) untuk bermain bersamanya. 

Dalam.suatu acara  konser dan gala dinner yang diselenggarakan pada Minggu (19/1/2025)  kemarin dihadiri sekitar 100 penonton dan diawali dengan acara ramah tamah dan cocktail.

Diadakan sore hari pukul 15.00 WIB  konser bertajuk "Gen Alpha of Classical Music" bertempat di Galeri Seni Mitra Hadiprana di bilangan Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan galeri seni pertama di Indonesia,  yang diresmikan oleh Presiden Soekarno tahun 1962. 

Untuk "Gen Alpha of Classical Music" Ananda mengundang 4 musisi remaja: dua pemenang KPN+ yaitu soprano Freya Murti Pramudita (Jakarta) dan pemain biola Veeshan Nathaniel Tandino, serta dua pemenang ASA Samuel Dazhill (lahir di Jakarta tapi kini tinggal di Pontianak) dan Michael Anthony (Jakarta). 

Untuk dua pemenang KPN+ yang disebut pertama, mereka juga adalah 2 dari 15 peraih "Golden Ticket to ASA 2025" yang berarti mereka berhak mengikuti ASA tanpa mengikuti babak penyisihan lagi. 

"Konser ini bukan pamer kebolehan saja .Saya juga berharap para musisi sejak usia muda seperti mereka sudah menggunakan musik sebagai medium untuk berekspresi, dan berinteraksi dengan kehidupan nyata seperti masalah sosial, menceritakan sejarah lewat emosi, memapankan jati diri dan identitas," ujarnya.

TEMBANG PUITIK

Tanggal 20 Desember tahun 2024  bertepatan dengan Hari Puisi Indonesia (HPI)ke-12 Penyair dan Sastrawan nasional  D. Zawawi Imron (lahir 1945) telah dianugerahi penghargaan Sastrawan Adiluhung oleh Kementerian Kebudayaan RI. 

Zawawi Imron adalah penerima anugerah  yang ketiga setelah Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM.

Sebelum itu Komponis Ananda Sukarlan telah menggubah puisi D. Zawawi Imron berjudul "Aku Ingin Menangis" menjadi tembang puitik dan memang telah memprogramnya untuk konser ini.

Selain puisi  "Aku Ingin Menangis" dari puisi D. Zawawi Imron, Freya Murti Pramudita menyanyikan satu  tembang puitik gubahan Ananda Sukarlan lainnya yakni puisi berjudul "Menulis Syair Untuk Presiden, episode 2" karya  Pulo Lasman Simanjuntak.

Kemudian "Malam Cahaya Lampion" (puisi Tan Lioe Ie), "Setelah Bendera Berkibar" (puisi Tengsoe Tjahjono) dan "Surat-Surat Sungai" (puisi Ubai Dillah Al Anshori). 

Freya dengan usianya yang masih relatif muda membawakan karya-karya ini dengan pendalaman interpretasi yang matang.

"  Ini adalah pertama kalinya Freya memenangkan kejuaraan sebagai penyanyi solo. Sebelumnya ia selalu mengikuti kompetisi sebagai bagian dari paduan suara," kilahnya.

Sementara Veeshan Nathaniel Tandino (13 tahun) belajar biola di Sumatra Conservatoire, Medan, dan peserta termuda yang lolos audisi untuk menjadi anggota G20 Orchestra tahun 2022.Namun, Ananda Sukarlan sebagai direktur artistik belum bisa mengajaknya bergabung karena pengalaman orkesnya yang masih sangat kurang.

 Kini murid dari Lidya Evania Lukito (Master of Music dari Rostov State Conservatory di Rusia, dan anggota G20 Orchestra) serta  Maulida Nur Isnaini ini telah membuktikan prestasinya sebagai pemain solo,  memainkan antara lain "Fantasy on Tapanuli Folksongs" yang sangat virtuosik dan sering dijadikan repertoire untuk berbagai kompetisi biola internasional.

Tentu saja sang komponis Ananda Sukarlan  dengan senang hati mengiringinya di piano di konser ini. 

Sedangkan dua pianis muda juga tampil memukau, ditunjang oleh grand piano Yamaha yang membahana dan megah. Baik Michael Anthony ( tunanetra dan autis) serta Samuel Dazhill membawakan Rapsodia Nusantara yang secara teknis sangat menantang .

Michael membawakan no. 7 (berdasarkan lagu-lagu tradisi Papua "Yamko Rambe Yamko" dan "Apuse") sedangkan Samuel Dazhill membawakan no. 8 (berdasarkan lagu Manado, "O Inani Keke"). 

Samuel juga menunjukkan kedalaman musikalitas dan kekayaan warna pianistiknya di karya Ananda berjudul "Good Morning, Night". Semua musikus tampil prima, juga secara visual dengan kostum dari Alleira Batik.

"Gen Alpha of Classical Music" juga merayakan Tahun Baru Cina (Imlek) yang jatuh seminggu setelahnya, 29 Januari. 

MUSIKUS MUDA SEMAKIN FOKUS

Sedangkan.Komponis & Pianis Ananda Sukarlan  sendiri memainkan Rapsodia Nusantara no. 36 berdasarkan lagu Banten "Dayung Sampan" kemudian diganti liriknya oleh penyanyi Teresa Teng yang membuatnya terkenal di dunia sebagai "Tian Mi Mi". 

Juga, Freya Murti Pramudita mempersembahkan puisi Tan Lioe Ie "Malam Cahaya Lampion".

Kalau tahun 2024 musik klasik Indonesia digemparkan oleh kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+) yang memecahkan rekor dengan 477 peserta dari berbagai instrumen dan vokal klasik, tahun 2025 kembali akan menyaksikan para pemusik terbaik tanah air berkompetisi di Ananda Sukarlan Award (ASA). 

Mungkin jumlah peserta ASA tidak akan sebanyak KPN+ karena memang syarat keikutsertaan ASA yang cukup sulit dan ketat untuk menyaring peserta yang memang sudah berkemampuan bermusik cukup tinggi, tapi ASA akan terus menjadi barometer kualitas musikus klasik Indonesia sejak 2008. 

Hal ini telah dibuktikan dengan kualitas teknik dan musikalitas para pemusik yang tampil kemarin. 

"Setelah 2024 musik klasik Indonesia menoreh sejarah dengan Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+)  saya lihat semakin lama para musikus muda semakin fokus. Di bidang vokal, semoga karya-karya saya bisa menarik para vokalis untuk mendalami dunia sastra, karena lagu-lagu saya selalu berdasarkan puisi-puisi yang berkelas dan inspiratif," ucapnya.

Di antara para finalis saja mereka menyanyikan tembang puitik berdasarkan puisi dari Penyair  Sitor Situmorang, Emi Suy, Wiji Thukul, Nanang Suryadi, Sapardi Djoko Damono dan juga Penyair Internasional  seperti Emily Dickinson, Walt Whitman dan William Shakespeare. 

"Semoga Rapsodia Nusantara saya membuat para pianis dan fans mereka untuk lebih sadar betapa kayanya musik daerah kita. Beda propinsi, beda bahasa  itu berarti beda sistem ritmis, struktur melodi, bahkan tangga nadanya. Negara kita sangat kaya dengan seni dan budaya, dan itu yang ingin saya ajak para musikus klasik di negeri kita ini untuk ikut menyadari dan mencintainya" kata Ananda Sukarlan.

Ada banyak perubahan untuk Ananda Sukarlan Award 2025 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Terutama untuk kategori tembang puitik, ada satu syarat yang telah direvisi oleh Ananda Sukarlan sendiri seperti  para penyanyi tingkat profesional (18 tahun ke atas) harus menyanyikan 3 (tiga) lagu dari 3 penyair Indonesia yang berbeda (selain lagu klasik "barat" seperti karya Franz Schubert, Aaron Copland dan komponis "Barat" lainnya). 

Perubahan ini disebabkan banyaknya penyanyi yang memiliki penyair favorit (terutama Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar atau Joko Pinurbo) di edisi-edisi sebelumnya  menyanyikan 3 lagu, semuanya dari penyair yang sama.

Revisi "3 penyair yang berbeda" ini memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeksplorasi karya-karya penyair lain, bahkan dari nama-nama yang jarang dan belum pernah mereka dengar sebelumnya, termasuk para penyair muda. 

"Kompetisi Piano Nusantara Plus benar-benar telah menggeser paradigma generasi alpha dalam musik klasik. Usia semakin muda, dan kualitas semakin tinggi. Ini tentu berdampak ke Ananda Sukarlan Award dan juga berbagai kompetisi lainnya yang biasanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah musik. Kelihatannya AI [artificial intelligence - red] juga menyadarkan banyak orangtua bahwa pekerjaan sebagai seniman -lah yang masih belum bisa digantikan oleh AI, sehingga mereka semakin terbuka dengan anaknya bermusik", lanjut sang pianis lulusan Koninklijk Conservatorium di Den Haag, Belanda  dengan predikat summa cumlaude ini.

Komponis Ananda Sukarlan - yang juga penerima penghargaan tertinggi dari dua negara- yaitu Royal Order of Isabella the Catholic (Real Orden de Isabel la Catolica) oleh Kerajaan Spanyol, dan Cavaliere Ordine della Stella d'Italia dari Presiden Sergio Mattarella.

Ananda Sukarlan Award merupakan kompetisi musik klasik yang telah menelurkan musikus klasik terbaik di tanah air. Didirikan oleh Pia Alisjahbana (pendiri media Femina Group) dan Dedi Panigoro (MEDCO) tahun 2008 untuk mencari pianis muda terbaik.

Mereka kemudian mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) juga bersama Chendra Panatan, manager Ananda. Ketiga tokoh tersebut hadir di konser ini.

Sedangkan di Surabaya, tembang puitik Ananda Sukarlan didirikan oleh Patrisna May Widuri (Amadeus Enterprise) tahun 2011 untuk vokalis yang kemudian meroketkan nama-nama seperti Mariska Setiawan, Isyana Sarasvati.

Pada tahun 2023 soprano 14 tahun Shelomita Amory  baru saja rilis rekamannya "Three Dickinson Songs" di spotify. Sejak masa pandemi Ananda Sukarlan  menggabungkan dua kompetisi tersebut bahkan membukanya untuk semua instrumen. 

Babak final ASA tahun ini yang merupakan titik temu semua pemusik di bawah usia 32 tahun paling berbakat di Nusantara (dan tanpa batas usia termuda!) akan diadakan tanggal 12 dan 13 Juli 2025 mendatang. (Lasman Simanjuntak)

2025 Tahun Emas Musik Klasik Indonesia, Komponis Ananda Sukarlan Perkenalkan Empat Musikus Klasik Muda Berbakat

Jakarta- Di konser pertamanya tahun ini, Komponis & Pianis  Ananda Sukarlan mengadakan konser dengan memperkenalkan para pemenang kompetisi musik klasik paling bergengsi di Indonesia, Ananda Sukarlan Award (ASA) dan juga Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) untuk bermain bersamanya. 

Dalam.suatu acara  konser dan gala dinner yang diselenggarakan pada Minggu (19/1/2025)  kemarin dihadiri sekitar 100 penonton dan diawali dengan acara ramah tamah dan cocktail.

Diadakan sore hari pukul 15.00 WIB  konser bertajuk "Gen Alpha of Classical Music" bertempat di Galeri Seni Mitra Hadiprana di bilangan Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan galeri seni pertama di Indonesia,  yang diresmikan oleh Presiden Soekarno tahun 1962. 

Untuk "Gen Alpha of Classical Music" Ananda mengundang 4 musisi remaja: dua pemenang KPN+ yaitu soprano Freya Murti Pramudita (Jakarta) dan pemain biola Veeshan Nathaniel Tandino, serta dua pemenang ASA Samuel Dazhill (lahir di Jakarta tapi kini tinggal di Pontianak) dan Michael Anthony (Jakarta). 

Untuk dua pemenang KPN+ yang disebut pertama, mereka juga adalah 2 dari 15 peraih "Golden Ticket to ASA 2025" yang berarti mereka berhak mengikuti ASA tanpa mengikuti babak penyisihan lagi. 

"Konser ini bukan pamer kebolehan saja .Saya juga berharap para musisi sejak usia muda seperti mereka sudah menggunakan musik sebagai medium untuk berekspresi, dan berinteraksi dengan kehidupan nyata seperti masalah sosial, menceritakan sejarah lewat emosi, memapankan jati diri dan identitas," ujarnya.

TEMBANG PUITIK

Tanggal 20 Desember tahun 2024  bertepatan dengan Hari Puisi Indonesia (HPI)ke-12 Penyair dan Sastrawan nasional  D. Zawawi Imron (lahir 1945) telah dianugerahi penghargaan Sastrawan Adiluhung oleh Kementerian Kebudayaan RI. 

Zawawi Imron adalah penerima anugerah  yang ketiga setelah Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM.

Sebelum itu Komponis Ananda Sukarlan telah menggubah puisi D. Zawawi Imron berjudul "Aku Ingin Menangis" menjadi tembang puitik dan memang telah memprogramnya untuk konser ini.

Selain puisi  "Aku Ingin Menangis" dari puisi D. Zawawi Imron, Freya Murti Pramudita menyanyikan satu  tembang puitik gubahan Ananda Sukarlan lainnya yakni puisi berjudul "Menulis Syair Untuk Presiden, episode 2" karya  Pulo Lasman Simanjuntak.

Kemudian "Malam Cahaya Lampion" (puisi Tan Lioe Ie), "Setelah Bendera Berkibar" (puisi Tengsoe Tjahjono) dan "Surat-Surat Sungai" (puisi Ubai Dillah Al Anshori). 

Freya dengan usianya yang masih relatif muda membawakan karya-karya ini dengan pendalaman interpretasi yang matang.

"  Ini adalah pertama kalinya Freya memenangkan kejuaraan sebagai penyanyi solo. Sebelumnya ia selalu mengikuti kompetisi sebagai bagian dari paduan suara," kilahnya.

Sementara Veeshan Nathaniel Tandino (13 tahun) belajar biola di Sumatra Conservatoire, Medan, dan peserta termuda yang lolos audisi untuk menjadi anggota G20 Orchestra tahun 2022.Namun, Ananda Sukarlan sebagai direktur artistik belum bisa mengajaknya bergabung karena pengalaman orkesnya yang masih sangat kurang.

 Kini murid dari Lidya Evania Lukito (Master of Music dari Rostov State Conservatory di Rusia, dan anggota G20 Orchestra) serta  Maulida Nur Isnaini ini telah membuktikan prestasinya sebagai pemain solo,  memainkan antara lain "Fantasy on Tapanuli Folksongs" yang sangat virtuosik dan sering dijadikan repertoire untuk berbagai kompetisi biola internasional.

Tentu saja sang komponis Ananda Sukarlan  dengan senang hati mengiringinya di piano di konser ini. 
Sedangkan dua pianis muda juga tampil memukau, ditunjang oleh grand piano Yamaha yang membahana dan megah. Baik Michael Anthony ( tunanetra dan autis) serta Samuel Dazhill membawakan Rapsodia Nusantara yang secara teknis sangat menantang .

Michael membawakan no. 7 (berdasarkan lagu-lagu tradisi Papua "Yamko Rambe Yamko" dan "Apuse") sedangkan Samuel Dazhill membawakan no. 8 (berdasarkan lagu Manado, "O Inani Keke"). 

Samuel juga menunjukkan kedalaman musikalitas dan kekayaan warna pianistiknya di karya Ananda berjudul "Good Morning, Night". Semua musikus tampil prima, juga secara visual dengan kostum dari Alleira Batik.

"Gen Alpha of Classical Music" juga merayakan Tahun Baru Cina (Imlek) yang jatuh seminggu setelahnya, 29 Januari. 

MUSIKUS MUDA SEMAKIN FOKUS

Sedangkan.Komponis & Pianis Ananda Sukarlan  sendiri memainkan Rapsodia Nusantara no. 36 berdasarkan lagu Banten "Dayung Sampan" kemudian diganti liriknya oleh penyanyi Teresa Teng yang membuatnya terkenal di dunia sebagai "Tian Mi Mi". 

Juga, Freya Murti Pramudita mempersembahkan puisi Tan Lioe Ie "Malam Cahaya Lampion".

Kalau tahun 2024 musik klasik Indonesia digemparkan oleh kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+) yang memecahkan rekor dengan 477 peserta dari berbagai instrumen dan vokal klasik, tahun 2025 kembali akan menyaksikan para pemusik terbaik tanah air berkompetisi di Ananda Sukarlan Award (ASA). 

Mungkin jumlah peserta ASA tidak akan sebanyak KPN+ karena memang syarat keikutsertaan ASA yang cukup sulit dan ketat untuk menyaring peserta yang memang sudah berkemampuan bermusik cukup tinggi, tapi ASA akan terus menjadi barometer kualitas musikus klasik Indonesia sejak 2008. 

Hal ini telah dibuktikan dengan kualitas teknik dan musikalitas para pemusik yang tampil kemarin. 

"Setelah 2024 musik klasik Indonesia menoreh sejarah dengan Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+)  saya lihat semakin lama para musikus muda semakin fokus. Di bidang vokal, semoga karya-karya saya bisa menarik para vokalis untuk mendalami dunia sastra, karena lagu-lagu saya selalu berdasarkan puisi-puisi yang berkelas dan inspiratif," ucapnya.

Di antara para finalis saja mereka menyanyikan tembang puitik berdasarkan puisi dari Penyair  Sitor Situmorang, Emi Suy, Wiji Thukul, Nanang Suryadi, Sapardi Djoko Damono dan juga Penyair Internasional  seperti Emily Dickinson, Walt Whitman dan William Shakespeare. 

"Semoga Rapsodia Nusantara saya membuat para pianis dan fans mereka untuk lebih sadar betapa kayanya musik daerah kita. Beda propinsi, beda bahasa  itu berarti beda sistem ritmis, struktur melodi, bahkan tangga nadanya. Negara kita sangat kaya dengan seni dan budaya, dan itu yang ingin saya ajak para musikus klasik di negeri kita ini untuk ikut menyadari dan mencintainya" kata Ananda Sukarlan.

Ada banyak perubahan untuk Ananda Sukarlan Award 2025 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Terutama untuk kategori tembang puitik, ada satu syarat yang telah direvisi oleh Ananda Sukarlan sendiri seperti  para penyanyi tingkat profesional (18 tahun ke atas) harus menyanyikan 3 (tiga) lagu dari 3 penyair Indonesia yang berbeda (selain lagu klasik "barat" seperti karya Franz Schubert, Aaron Copland dan komponis "Barat" lainnya). 

Perubahan ini disebabkan banyaknya penyanyi yang memiliki penyair favorit (terutama Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar atau Joko Pinurbo) di edisi-edisi sebelumnya  menyanyikan 3 lagu, semuanya dari penyair yang sama.

Revisi "3 penyair yang berbeda" ini memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeksplorasi karya-karya penyair lain, bahkan dari nama-nama yang jarang dan belum pernah mereka dengar sebelumnya, termasuk para penyair muda. 

"Kompetisi Piano Nusantara Plus benar-benar telah menggeser paradigma generasi alpha dalam musik klasik. Usia semakin muda, dan kualitas semakin tinggi. Ini tentu berdampak ke Ananda Sukarlan Award dan juga berbagai kompetisi lainnya yang biasanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah musik. Kelihatannya AI [artificial intelligence - red] juga menyadarkan banyak orangtua bahwa pekerjaan sebagai seniman -lah yang masih belum bisa digantikan oleh AI, sehingga mereka semakin terbuka dengan anaknya bermusik", lanjut sang pianis lulusan Koninklijk Conservatorium di Den Haag, Belanda  dengan predikat summa cumlaude ini.

Komponis Ananda Sukarlan - yang juga penerima penghargaan tertinggi dari dua negara- yaitu Royal Order of Isabella the Catholic (Real Orden de Isabel la Catolica) oleh Kerajaan Spanyol, dan Cavaliere Ordine della Stella d'Italia dari Presiden Sergio Mattarella.

Ananda Sukarlan Award merupakan kompetisi musik klasik yang telah menelurkan musikus klasik terbaik di tanah air. Didirikan oleh Pia Alisjahbana (pendiri media Femina Group) dan Dedi Panigoro (MEDCO) tahun 2008 untuk mencari pianis muda terbaik.

Mereka kemudian mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) juga bersama Chendra Panatan, manager Ananda. Ketiga tokoh tersebut hadir di konser ini.

Sedangkan di Surabaya, tembang puitik Ananda Sukarlan didirikan oleh Patrisna May Widuri (Amadeus Enterprise) tahun 2011 untuk vokalis yang kemudian meroketkan nama-nama seperti Mariska Setiawan, Isyana Sarasvati.

Pada tahun 2023 soprano 14 tahun Shelomita Amory  baru saja rilis rekamannya "Three Dickinson Songs" di spotify. Sejak masa pandemi Ananda Sukarlan  menggabungkan dua kompetisi tersebut bahkan membukanya untuk semua instrumen. 

Babak final ASA tahun ini yang merupakan titik temu semua pemusik di bawah usia 32 tahun paling berbakat di Nusantara (dan tanpa batas usia termuda!) akan diadakan tanggal 12 dan 13 Juli 2025 mendatang.(Lasman Simanjuntak)

Sabtu, 18 Januari 2025

Proses Kreatif Menulis Karya Sastra, Teknologi AI Tak Ada Nilai Etika, Data Cenderung Menyesatkan

Jakarta- Hal ini sudah lama dan sering diperbincangkan kalangan ahli sastra.Namun, yang jelas walaupun dianggap lebih cerdas, ada satu hal yang tidak ada di teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

"Yang jelas, walaupun dianggap lebih cerdas, ada satu hal yang tidak ada di AI, yaitu nilai-nilai etika," ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Bahasa Filsafat di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional (UNAS) ketika diminta pendapatnya soal proses kreatif dalam menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI di Jakarta, Minggu (19/1/2025).

Menurut Prof.Dr.Wahyu Wibowo, karena sekalipun ada nilai etika secara universal (misalnya tentang ungkapan dilarang membunuh-ref), toh d mana pun dalam budaya yang berbeda-beda, percayalah, tidak ada nilai-nilai etika yang sama.

"Pasti juga akan berbeda-beda.Misalnya tentang  kata "pembunuhan" tadi.Satu budaya akan melihatnya sebagai proses alamiah biasa, sedangkan budaya lain akan melihatnya secara atropologis misalnya, makanya ada upacara-upacara dan ritual lainnya," ujarnya

Jadi, atas kebesaran Tuhan tidak mungkin kehidupan manusia 'diseragamkan' oleh adanya AI.

"Lihatlah sebuah taman bunga, apa yang terjadi jika taman itu hanya ditumbuhi bunga berwarna putih.Marilah merenung, apakah ada sesuatu yang baru di bawah langit?" tanyanya.

Jadi  kalau ditanyakan apakah AI mengancam proses kreatif menulis karya sastra-termasuk kritik sastra-jawabnya tentu tidak. Kalau makna kritik adalah "bedah" (kritein), apakah ada metode "bedah" yang seragam ?

Menjawab pertanyaan apakah seorang penyair dalam.proses kreatif menulis puisi boleh mempergunakan teknologi AI yang merupakan teknologi yang memungkinkan mesin untuk meniru kecerdasan manusia ?

 "Mencipta karya  puisi dengan bantuan AI, okelah. Tapi menilai puisi tersebut dengan AI, ini menjadi suatu pertanyaan.Oleh karena itu,  tanggung jawab para dosen sastra adalah mengembangkan proses berpikir kritis (critical thinking) kepada para mahasiswanya. Jangan, para mahasiswa hanya dipercayakan kepada gadget  semata.Sementara kritikus sastra yang menulis dengan meminjam teknologi AI, menurut saya, kritikus tersebut  kurang percaya diri," tutup Prof.Dr.Wahyu Wibowo yang dikenal sebagai penulis 50 judul buku sastra, jurnalistik, dan sebagainya.

TEKNOLOGI AI ADA KETERBATASAN

Sementara itu Penyair Giyanto Subagio ketika dihubungi di kediamannya pada Minggu pagi  (19/1/2025) mengakui bahwa teknologi AI ada keterbatasan dalam hal bank naskah sastra serta kosa kata terbaru.

"Teknologi AI tetap ada keterbatasan dalam hal up date terbaru, misalnya kosa kata.Data base teknologi ini hanya sampai tahun 2022 dan 2023, sedangkan untuk tahun 2024 tak ada sama sekali.Jadi memori teknologi AI ada keterbatasan," akuinya.

Menurut Bung Edo-panggilan akrabnya- data yang dimiliki teknologi.AI sampai tahun 2022-2023, data tahun 2024 -bahkan sampai awal tahun 2025 ini-tak ada sama sekali.

"Contoh bahasa baru atau kosa kata baru sampai tahun 2023 sedangkan untuk tahun 2024 teknologi AI sama sekali tak ada. Coba anda cek langsung di google kalau tak percaya.Ini merupakan persoalan pertama dari penggunaan teknologi AI untuk sebuah karya sastra," ujarnya.

Dikatakannya lagi, entry data teknologi AI tak ter-update dengan baik, bahkan referensi kurang kuat.

Misalnya, bila ada sebuah karya sastra yang "viral" satu tahun sebelumnya, pada   tahun 2024 belum ada di teknologi AI ini.

Persoalan kedua adalah aspek "rasa" pada karya sastra mempergunakan teknologi AI sangat 'kering' .Bahasa sastra yang digunakan tak memiliki roh dan nyawa.

"Dalam kritik sastra misalnya seorang kritikus sastra secara manual akan menulisnya mempergunakan akal budi dan pikiran yang alamiah dan sangat kuat.Tulisan kritik sastra juga mempergunakan rasa sebagai sebuah karya seni," kata penyair yang sering baca puisi di area Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin di TIM Jakarta ini.

Seorang penyair dan kritikus sastra, lanjut Bung Edo  tak akan mempergunakan teknologi AI ini, terutama bila menyangkut soal etika.

"Saya sepakat soal etika seperti yang dikatakan Prof.Wahyu Wibowo .Apalagi sebuah karya sastra itu  diperlukan satu kejujuran dalam proses kreatif menulis.Kita sebagai penyair atau kritikus sastra generasi 'kertas' pasti masih pegang prinsip idealisme dan kejujuran," ujarnya.

Bagaimana dengan generasi milenial atau Gen Z dalam proses kreatif menulis karya sastra ?

" Sungguh memprihatinkan.Gen Z tak memegang teguh idealisme.Mereka bahkan sering jadi joki dan pesanan berbayar untuk sebuah karya sastra ," pungkasnya.

DATA CENDERUNG MENYESATKAN 

Sampai saat ini saya belum pernah menggunakan/ memanfaatkan Artificial Intellegence (AI) untuk kepentingan penulisan sajak. Meskipun AI sudah 'menclok' di WhatSapp, saya belum yakin AI mempengaruhi proses kreatif saya dalam menulis sajak. 

"Pendatang bernama teknologi pasti punya kelemahan dan kelebihan. Kelemahan AI, antara lain data yang kita minta tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Referensi yang muncul seringkali di luar nalar manusia," ujar Penyair dan Sastrawan Nanang R Supriyatin ketika dihubungi di Jakarta, Minggu pagi  (19/1/2025).

Menurutnya kelebihan AI antara lain cepat mendeteksi serta menjawab pertanyaan yang kita kehendaki. 

"Dalam hitungan detik teknologi AI akan merekam dan menjabarkan kemungkinan yang tak terbayangkan di otak kita.," katanya.

"Penyair itu tergolong manusia kreatif. Seyogyanya penyair memanfaatkan basic, pengalaman dan nalar. Teknologi bernama AI hanya tempelan-tempelan yang ada di permukaan. Kehadiran AI pun seperti 'casing', boleh dimanfaatkan, boleh juga tidak," katanya lagi.

Penyair-menurut mata batin saya - idealnya beretika, tahu diri dan tidak mudah terjebak pada bahasa dan gaya yang 'praktis'. 

Penyair harus punya jiwa baja, dan tidak terkecoh dengan perkembangan teknologi. 

" Idealisme adalah kata yang muncul kemudian seiring kemampuan kita dalam mengekplorasi kata-kata.Begitu pula untuk kritik sastra. Yang dibutuhkan seorang pengritik adalah referensi dari penulisan atas bahan yang dianggap benar, dan setidaknya memenuhi kriteria. Kritikus yang baik dan tulisan kritik yang bermutu tidak terjebak pada penggunaan AI," kilah Penyair Nanang Ribut Supriyatin.

Menjawab pertanyaan tentang proses kreatif menulis karya sastra Gen Z yang cenderung mempergunakan teknologi kecerdasan buatan ini, dijawab bahwa tidak semua Gen-Z memanfaatkan AI. 

"Masih banyak Gen-Z menulis sajak dengan baik. Mereka menulis sajak karena pengalaman membaca sajak-sajak yang dianggapnya baik. Dan, kehadiran AI hanya lintasan sejarah saja. Teknologi AI hadir sebagai referensi 'palsu' belaka. AI hadir, menurut saya, hanya sekadar hiburan.Mungkin banyak Gen-Z menjadi Ghost Writer. Ini artinya masih banyak orang memanfaatkan Ghost Writer dengan alasan malas membaca dan berpikir. Untuk proses seperti ini, maka tidak akan tumbuh dan berkembang proses kreatif kaum Gen-Z dimaksud. Mereka memprioritaskan kebutuhan AI ketimbang kemampuan berpikir," ucapnya.

Ditambahkannya teknologi AI tidak akan pernah mengancam dunia literasi sastra,,apalagi bagi orang-orang kreatif. 

"Tugas sastrawan harus terus mengedukasi kepada generasi yang masih 'awam', dan memberi pandangan tentang teknologi yang sering mengecohkan mata batin kita," pungkasnya.

Sekedar informasi tambahan, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia seperti memecahkan masalah, mengenali gambar, dan membuat prediksi.Bahkan AI mampu meniru kemampuan intelektual manusia.

Konsep besar AI dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan termasuk Alan Turing, John Mc.Carthy mengembangkan bahasa pemrograman AI pertama.AI di Indonesia mulai diperkenalkan pada tahun 2010.(Lasman Simanjuntak)