Jakarta,BeritaRayaOnline,-Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data produksi beras yang terbaru dan tentunya lebih valid dari metode sebelumnya dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA). Metode tersebut mulai digunakan sejak Januari 2018 untuk memperbaiki data produksi padi.
Hasilnya, berdasarkan rilis BPS terkoreksi data pangan yakni luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta hektar tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018. Sementara potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektar, produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras dan konsumsi sebesar 29,50 juta ton. Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018.
Tentang hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengapresiasi langkah pemerintah yang mengoreksi data produksi beras tersebut agar kebijakan impor yang berpotensi menyengsarakan rakyat tidak perlu diambil. Karenanya, data terbaru ini berdampak juga pada tidak lagi terjadinya pro kontra dan polemik terkait data produksi padi dan beras.
“Jika kebijakan yang dikeluarkan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti impor beras, berpotensi menyengsarakan banyak orang,” ujar Hendri di Jakarta, Selasa (23/10/2018).
“Karena itu, data yang baru dari pemerintah mesti jadi momentum awal untuk membuat kebijakan yang lebih baik dan menyejahterakan rakyat, termasuk petani,” sambungnya.
Sementara itu, data terbaru BPS bahwa produksi beras Indonesia selama 2018 surplus 2,80 juta ton ini pun sesuai dengan hitungan ekonom senior Universitas Indonesia, Rizal Ramli. Kemarin (22/10), dalam diskusi khusus mengenai impor pangan, RR sapaan akrabnya menegaskan impor beras yang dilakukan tahun ini didasari atas kelangkaan beras yang dibuat-buat.
“Sebab, dalam kenyataannya, beras dalam keadaan cukup. Kalau kelangkaan yang benar, itu baru kita boleh impor. Tapi, ini direkayasa. Kebutuhan impornya ini karena emang pejabat doyan banget impor," tegasnya.
Menurut RR, impor beras ini mengorbankan petani. Yakni keuntungan yang seharusnya petani peroleh saat panen, menjadi melayang, karena harga beras menjadi anjlok akibat membanjirnya beras impor di pasar.
“Kebijakan impor di waktu panen ini sadis sekali. Petani pada mau panen ada impor, akhirnya pada nangis semua. Jadi, kalau saya sebut itu sebagai adiktif impor atau kecanduan impor," pungkasnya.(**)
Editor : Jhonnie Castro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar