Minggu, 23 November 2025

Sosok Inspiratif : Giyanto Subagio, Penyair 'Bersepeda' Dari Kemayoran

JAKARTA-Setiap individu, memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda, unik, dan menarik. Bahkan Inspiratif. 

Demikian halnya, dengan seorang putra Jakarta, dari Kemayoran, Jakarta pusat, Giyanto Subagio, atau lebih dikenal dengan nama ‘Edo’.

Di Kalangan seniman, ia dijuluki sebagai penyair bersepeda, lantaran untuk menyanggah volume aktivitasnya di dalam berkarya di ruang sastra, ia menggunakan alat transportasi roda dua, sepeda. 

Tidak mengenal pagi, siang, dan sore, bahkan di malam hari pun, ia menggunakan sepeda. 

Sepeda yang digunakannya adalah bukan sepeda yang wah, dan mewah, melainkan sepedanya biasa, sudah lama dan kusam. 

Pada roda bannya pun sudah mengelupas, seperti seorang yang sudah memasuki usia senja, rambutnya berubah menjadi putih, lemah (tidak kokoh), dan rontok.

Pemenang lomba Puisi di Kementerian Lingkungan Hidup- sekitar tahun 1990 an dengan hadiah uangnya yang relatif besar ini- tidak dinikmatinya sendiri, dan digunakan untuk berfoya foya (konsumeris dan hedonis).

 Uang hadiah itu, digunakan untuk seperlunya, selebihnya dibagikan untuk rekan- rekan seniman dekatnya, termasuk membantu kawannya, untuk mengurangi biaya persalinan istrinya, di rumah sakit. 

Tingkat solidaritas, pertemanan, dan kepercayaannya, begitu sangat tinggi, dan dipegang teguh dalam bersikap di ruang apapun, termasuk di dalam ruang kesenian, khususnya ruang sastra.

SEPEDA SIMBOLIK

Sepeda tidak dimaknainya hanya sebagai alat transportasi. Tetapi juga ia, sudah dimaknainya sebagai kekuatan simbolis.

 Yakni, mitra perjalanan spiritualnya dalam membangun kekaryaan.

 Rinai hujan dan sengatan terik matahari, serta polusi kendaraan adalah suatu hal yang mengakrabi kehidupannya dalam beraktivitas.

 Bagi dirinya, dunia luar bukanlah suatu halangan untuk merefleksikan kekuatan makna jiwa dan spiritualnya. 

Bukankah Marcus Aurelius, raja Romawi, pernah membuat sabda kekuasaannya, bahwa kecerdasan, kesehatan, dan seterusnya, adalah suatu hal yang bersifat insidentil, dan bukan substantial.

Selain kedua kakinya, alat transformasi manusia yang alami, sepeda sebagai produk teknologi modern itu, lumayan sangat membantu dirinya untuk meringankan beban aktivitasnya dalam ruang kreatif, berkesenian, terutama sastra. 

Dengan menggunakan sepeda ia mampu membawa beras dari rumah ke tempat ruang kreatif, di Senen, Jakarta pusat.

 Setidaknya, setiap bulan ia membawa beras untuk dikonsumsi para kawan kawannya untuk dikonsumsi secara bersama. 

Sementara lauknya, disediakan oleh seorang kawan lainnya. 

Pola swadaya dalam berkesenian dan persaudaraan itu, terlihat jelas dalam kehidupan seniman di Senen, di era tahun 1990 an itu. 

Rasa persaudaraan, rasa memiliki, dan rasa tanggung jawab berusaha dihadirkan di dalam setiap ruangnya.

MENTAYA DAN KOPS.

Komunitas Mentaya Estetika dan Komunitas Planet Senen, adalah dua komunitas yang berbeda, tetapi memiliki nuansa yang sama.

 Sama- sama memiliki kepentingan untuk memberdayakan ruang publik menjadi ruang budaya. 

Para personil Komunitas Mentaya dan Komunitas Planet Senen, adalah hampir identik. 

Antara lain, terdiri dari : Aspur Azhar (almarhum), Giyanto, Imam, Aswin, Ipoer, Ujang GB (almarhum), Antonius, Aghan, Yoko, Tio, dan Zaelani (personil Komunitas Sastra Mentaya Estetika).

 Sementara untuk Komunitas Planet Senen. Antara lain: Irmansyah, Imam, Giyanto, Aswin, Ipoer, Sinung, Ipoer, Dion, dan lainnya.

Kegiatan seni dan budaya di Senen itu, berhasil menghadirkan suatu kekuatan gravitasi tersendiri di Jakarta, bahkan mungkin nasional, setelah tenggelam hanya sebagai situs seni dan budaya di masa Chairil Anwar, Bing Slamet, Misbach, dan seterusnya.

 Kop’S, kembali berusaha menghidupkannya, dengan menghadirkan kembali tokoh -tokohnya, seperti Misbach, Harmoko, Deddy Mizwar. 

Dan mereka menyatakan secara terbuka dan ekspilisi, turut mendukung kegiatan Komunitas Planet Senen, dalam bentuk orasi politik, seni dan budaya. Bahkan membantu secara material.

Lagi lagi Giyanto Subagio, atau Edo, tingkat ketulusan dan keinginan kuatnya untuk menghidupi ruang kesenian, tidak perlu di pertanyakan. 

Jika terkait dengan kepentingan publik, Giyanto, berusaha selalu terdepan.

 Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang seniman, melainkan ia juga aktif di ruang pemberdayaan sosial (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri/PNPM), dan menjadi Ketua RW.

Tak memilih posisi dan jabatan. Apalagi kekayaan. Kini, Giyanto Subagio, aktif di ruang kesenian, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pusat, dan anggota FKDM (Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat), di wilayah Kecamatan Kemayoran, Jakarta pusat. 

Jika kapitalis berbicara, tiada hari tanpa Teh Sosro, maka hal itu pun bisa disematkan pada seorang Giyanto Subagio: Tiada ruang publik tanpa Giyanto Subagio.(Lasman Simanjuntak)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar