Selasa, 06 Februari 2018

Ketika Paham Islam Radikal Masuk Kampus dan SMA

Jakarta,BeritaRayaOnline,- Sebuah postingan panjang berjudul “Mengapa saya tak mengizinkan anak saya ikut kegiatan kemahasiwaan yang berbasis keagamaan”, menarik perhatian saya. Setelah saya baca keseluruhan postingan itu, saya menyatakan 100 % setuju dan sepaham dengan isinya.

Dua hari sebelum baca postingan di Facebook itu, saya terlibat diskusi panjang seharian, dengan teman sesama wartawan, dan para aktifis Nusantara, dan menengarai gejala yang sama. Bahwa kampus kampus universitas negeri - di pulau Jawa khususnya -  sudah dijangkiti dan dikuasai kelompok Islam Radikal.

“Bukan hanya kampus, Oom. SMA SMA juga sudah kena virusnya, lewat kegiatan Rohis, “ kata seorang anak muda, yang termuda di antara peserta diskusi kami. Rohis kependekan dari kegiatan ekstrakulikuler Rohani Islam.

Abi Hasantoso, penulis postingan di FB  itu menuturkan, anaknya kuliah di Universitas Indonesia (UI), angkatan 2014, diterima melalui jalur tes Seleksi Masuk UI (Simak UI) yang dilakukan langsung oleh UI. Sebelum memutuskan ambil kuliah di UI, pada saat bersamaan dia sudah diterima di Universitas Padjajaran (Bandung) melalui jalur SMPTN dan Universiti Putera Malaysia (Shah Alam) melalui seleksi berdasarkan nilai akademik.

Usai pendaftaran ulang pada Agustus 2014 lalu di Balairung UI saya mewanti-wanti anak saya untuk tidak mengikuti Unit Kegiatan Kemahasiswaan (UKM) yang berbasis agama. Saya bilang kepada anak saya, katanya:  “silakan ikut aktif di kegiatan pencinta alam, band, dan lain-lain asal jangan yang berbasis agama” (tanda kutipan dari saya, pen).

Fesbuker Abi Hasantoso mengaku punya data. Dia dapat laporan bahwa saat ini di banyak kampus perguruan tinggi di Indonesia sudah kemasukan ideologi radikal yang menisbikan kebhinnekaan. Ideologi radikal ini mencekoki racun kepada mahasiswa bahwa hanya ajaran agamanya lah yang paling benar sehingga maunya menang sendiri. Mereka juga dicuci otaknya untuk taat pada dogma. Padahal kebebasan berpikir dan bertindak inilah esensi pendidikan tinggi yang menjadi tradisi universitas-universitas terkemuka di dunia yang melahirkan penemuan-penemuan produk-produk berteknologi tinggi dan teori-teori baru di berbagai disiplin ilmu.

Fenomena ini sesungguhnya sudah terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an di kampus-kampus. Saat saya kuliah beberapa teman SMA yang dikenal sangat terbuka tiba-tiba menutup diri dari pergaulan setelah ikut kegiatan berbasis agama di kampusnya. Untuk mencari jodoh mereka sampai dipilihkan oleh gurunya. Setelah dijodohkan mereka menikah saat masih kuliah dan di acara resepsi pernikahan ada pembagian ruang antara mempelai perempuan dan laki-laki - bahkan tamu sampai diatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan termasuk makan harus dengan tangan kanan dan tak boleh berdiri.

SAYA TERINGAT pengalaman ketika mengirimkan putri sulung saya kuliah di Bogor, beberapa tahun lalu.  “Yah, di kampus aku juga begitu, “ begitu kata putri saya, ketika masih kuliah kota hujan itu. Meski saya tak pernah mendatangi kampusnya – tugas itu ditangani ibunya -  saya amati pergaulan dan perilakunya, dan sejauh itu, baik baik saja.

Dan meski saya tidak pernah membahas secara khusus, putri suling saya itu, menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Saya lega karena dia tidak aktif di organisasi mahasiswa, khususnya kegiatan berbasis agama.

Saya mendengar anak anak kampus yang bergabung dengan NII – Negara Islam Indonesia –dan berubah kontras,  mengabaikan perintah orangtuanya. Saya mendengar bahwa anak yang sudah masuk paham mereka, suka berbohong, bahkan ikut mengumpulkan dana untuk NII, hingga kuliahnya kacau.

Selain paham NII – terbaru juga paham Khilafah. Dimana dongeng kejayaan khilafah digaungkan kembali, menolak negara bangsa, anti merah putih dan hukum negara. Refleksi dalam sikapnya cenderung antitoleran, anti non muslim, anti Cina, dan anti pemerintah.

Ada banyak faksi faksi Islam radikal yang ditularkan di kampus saat ini, yang sebagian besarnya, mengancam keIndonesiaan, kebhinekaan, Pancasila dan NKRI. Dan mereka yang terjangkit, tidak hanya mahasiswa, melainkan dosen, bahkan dekan.

Saya sendiri pernah dikeluarkan dari grup diskusi alumni dan dosen UI yang masih aktif, ketika saya ikut membalas postingan mereka yang berisi “anti Syiah”. Sebagaimana sejarah yang tertulis selama ini, Islam Syiah sudah ratusan tahun usianya di Indonesia, dan meninggalkan berbagai kegiatan budaya antara lain Tabot di Bengkulu. Mereka menolak, saya ngotot. Dan akibatnya akun saya di-ban.

Level intelektual dari Universitas Indonesia, lho.

ITU SEBABNYA, setiap kali kami bertemu dengan putri saya, diam diam saya menyelidik dan menyimak cerita kehidupan di kampusnya.  Dia bercerita, kost sekamar dengan mahasiswi Tionghoa - penganut Budhis taat - yang rajin meditasi, dan setiap pagi bergantian shalat Subuh dengannya di kamar mereka.

Saya senang mendengarnya. Karena saya sendiri, di Jawa Tengah, sejak kecil sudah selapik seketiduran dengan anak Tionghoa - Katolik, dan masih bersahabat sampai sekarang. Dan saya tetap muslim.

Saya sulit membenci orang Cina, karena sejak bisa berteman dan gaul mulai klas 3-4 SD, lalu masuk SMP di Jakarta, SMA, dan menjadi wartawan tak bisa jauh dari orang Tionghoa. Fotografer-fotografer hebat yang mengajari saya motret umumnya orang Tionghoa. Juga wartawannya.

Penerimaan putri saya atas orang yang berbeda ras dan agama - membuat saya memastikan bahwa anak saya bisa hidup di Indonesia yang bhinneka dan toleran. Saya sendiri muslim abangan-moderat.

FESBUKER Abi Hasantoso menambahkan, dengan tidak mengikuti kegiatan berbasis keagamaan,  anaknya menjadi mahasiswa bebas di UI tanpa terikat dogma. Ia mewarisi tradisi sosok mahasiswa UI yang hidup dengan "buku, pesta, cinta".  Pernah berambut gondrong dan "dicat" pirang. Punya pacar memilih sendiri. Begadang di kampus. Tapi tahu baca buku-buku untuk menyusun skripsinya bersama beberapa temannya.

“Beruntung anak saya tak seperti teman seangkatannya dari fakultas lain yang aktif ikut kegiatan berbasis keagamaan. Yang mengajukan protes tanpa data kuat. Yang hobi suka menelan berita hoax. Yang mengagumi Jonru, lelaki bersuara cempreng dan berwajah jauh dari ganteng yang lagi dipenjara karena memfitnah. Yang mengidolakan politisi-politisi doyan korupsi dengan bungkus agama dan hobi main perempuan di apartemen yang dibeli pakai duit hasil korupsi”.

“Jelas, kan, mengapa saya tak mengizinkan anak saya mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang berbasis agama - apalagi terindikasi gerakan radikal? “ katanya di penghujung tulisannya.

SAYA punya anak kedua - juga perempuan - yang kuliah di universitas keagamaan di Ciputat, dan sebagaimana yang sulung, saya mengawasi pergaulannya. Sampai kemudian diwisuda dia baik baik saja. Putri kedua saya tidak sempat sekamar dengan anak Tionghoa, karena seluruh mahasiswanya muslim dan muslimah. Tapi kini bekerja dengan boss Tionghoa. Dia suka membuat desain, dan kini bekerja di perusahaan pengembang aplikasi.

Sebagaimana Abi Hasantoso, saya ingin anak anak saya tidak jadi orang yang cupet dan munafik,  karena dogma. Tak jadi koruptor dengan balutan kitab suci. Tidak jadi pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa karena merasa mayoritas dan paling pribumi sehingga boleh melakuan apa saja seenaknya termasuk menghancurkan kebhinnekaan yang sudah menjadi fitrah bangsa Indonesia sejak berdiri di Bumi Pertiwi.

Dan saya tidak mau, anak saya sok menilai dan mengevaluasi pembangunan negara dan kinerja presiden -  padahal hidupnya sehari hari berkutat di kampus dan lapangan olahraga, dan untuk kegiatannya masih minta uang jajan dari orangtuanya.

Apalagi, terbukti, aksi mahasiswa itu digoreng sebagai isu panas dan menguntungkan lawan politik pemerintah yang lagi kehabisan isu***

sumber : facebook dimas supriyanto/facebook lasman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar