Selasa, 14 Juni 2022

MENAPAK SAJAK PULO LASMAN SIMANJUNTAK

MENAPAK SAJAK PULO LASMAN SIMANJUNTAK

Oleh  : Sugiono MP

Jakarta, Kamis, 2 Juni 2022, -Mendekati akhir Mei 2022 di akun fb saya tetaut dua sajak karya Pulo Lasman Simanjuntak.

Ia sudah 40 tahun lebih berpuisi. Bukan penulis angkatan gawai – meski ia rajin mengunggah karyanya di medsos.

Pengakuan kepenyairannya muncul di dua buku, yang dieditori Pamusuk Eneste (Gramedia) dan Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Maman S Mahayani (Yayasan Hari Puisi Indonesia).

Dengan demikian sudah tak diragukan lagi kehadirannya sebagai penyair, kiranya. Inilah sajak yang tertaut itu.

NEGERI KHATULISTIWA DALAM PUISI

kami datang, kawan
membawa sebungkus dendam
menyusuri pasir
dan injakan karang tegar

sunyiku kali ini
tak mendaki garis-garis imajinasi

sejak dalam perjalanan tadi
sahabatku bercerita;
rakyat sudah menyedot minyak bumi
utang negara bertumpuk di kolong meja dikorupsi

pergolakan berdarah sampai musibah tak terkira
bencana tetap merajarela
pesawat menabrak
tubuh laut tak lagi biru
kapal selam turun ke dasar
dunia orang mati

dua puluh tahun kemudian
kita akan krisis pangan
di negeri khatulistiwa
tanpa kutub utara dan kutub selatan
tanpa belahan bumi garis lintang
dua sahabat karib tetap menyodorkan
wajahnya untuk dilukis di muka wajah laut

di atas meja bundar
gelas demi gelas
dihidangkan hiruk pikuk
suara ombak laut selat
dingin
mengerikan
maka kami harus hidup
dengan roh rendah hati

Anyer, Serang, April 2021

PERTEMPURAN HARI TERAKHIR

lewat matahari yang berputar dalam imaji-imaji liar
hari raya yang nyaris kelaparan dalam kesunyian abadi
tanpa tangisan bayi

binatang haram pun jadi santapan rohani
di mezbah batu warna biru
penuh amarah
tanpa dendammu berterbangan
di atas meja makan ini

tegur sapa jadi rajin menolak
sebungkus nyanyian mengerikan
dibuangnya di atas meja kasir
persis berhadapan dengan sekolah
layar lebar dan sulit tidur
di ranjang kematian

lalu kutulis puisi yang paling mengeras
sekeras hatimu perempuan berwajah katarak
doyan mengunyah tumbuh-tumbuhan hijau
rahimnya telah terluka masa lalu
berakar kepahitan dan penyakit kambuhan
dari pulau seberang lautan

Pamulang, Minggu 8 Mei 2022

Dua puisi berjeda setahun di atas punya warna yang sama: sarkastis.

Sarkasme dalam puisi bercirikan stilika diksi blak-blakan bertujuan cemooh, sindiran secara verbal, bisa berupa ejekan untuk mengekspresikan rasa kesal dan marah.

Sarkasme merupakan bentuk pelarian terakhir dari orang-orang yang berjiwa murni dan sahaja ketika mereka sudah merasakan emosi yang meledak atau marah besar (Fyodor Dostoyevsky).

Pada Negeri Khatulistiwa Dalam Puisi sarkasme itu kita pahami berangkat dari sikap baris kedua bait awal: / membawa sebungkus dendam / lantaran / rakyat sudah menyedot minyak bumi / utang negara bertumpuk di kolong meja dikorupsi // (baris 3-4 bait 3).

Deskripsi selanjutnya ada di bait 4 -5. Namun kemarahan tersebut ditutup dengan kearifan: / maka kami harus hidup / dengan roh rendah hati // (baris 7-8 bait 6).

Pantaslah, sang penyair adalah penggembala umat (Ketua Jemaat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Jatinegara, Jakarta Timur).

Pada puisi kedua, Pertempuran Hari Terakhir, tidak sesakartis puisi pertama. Sudah melesap namun warna ironis masih melekat.

Pada baris bait terlarik: / hari raya yang nyaris kelaparan dalam kesunyian abadi / tanpa tangisan bayi //. Juga: / binatang haram pun jadi santapan rohani / di mezbah batu warna biru / penuh amarah // (bait 2 baris 1, 2, 3).

Maka sang penyair pun menulis puisi yang paling mengeras lewat ungkapan ironis: / rahimnya telah terluka masa lalu / berakar kepahitan dan penyakit kambuhan / (bait akhir baris 4-5).

Menurut Humam S. Chudori (Perjalanan Rohani Seorang Penyair, /beritarayaonline.co.id, /26 April 2022), perjalanan rohani penyair Pulo Lasman Simanjuntak tak melulu masalah-masalah ibadah, melainkan juga catatan sikon masyarakat yang pernah disinggahi sang rohaniawan ini dalam bentuk puisi. Saya serujuk ■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar