selayang pandang tentang SASTRA KITA
Sekilas
tentang Kelompok diskusi “SASTRA
KITA”
Mulai dibentuk pada tanggal : 2 September 1984
Di Jakarta
Para pendiri : Humam S. Chudori (cerpenis)
Ayid Suyitno PS (penyair)
Nanang R. Supriyatin (penyair)
Harianto Gede Panembahan (cerpenis)
Kelompok diskusi “Sastra Kita”
awalnya merupakan forum silaturahmi antar penulis karya sastra yang sering
bertemu, secara bergantian di rumah (humam, ayid, dan Nanang). Akhirnya para
penggagas tersebut sepakat untuk mengadakan suatu pertemuan dengan mengundang
beberapa orang yang punya minat yang sama dalam bidang susastra.
Maka pada pertemuan yang diadakan
pada tanggal 2 September 1984 di rumah
Pulo Lasman Simanjuntak (penyair yang juga wartawan sebuah media cetak) yang
berada di Jalan Rengas I No. 23-A
(kebayoran baru, Jakarta) dengan dihadiri oleh: Humam S. Chudori, Ayid Suyitno PS, Nanang R. Supriyatin, Harianto Gede
Panembahan, Yon AG. Bambang Prakoso, Doddy Permadi Indrajaya, Pulo Lasman
Simanjuntak, Rudy Valentino Efendi, dan Victor Manohara
Tampubolon. Telah disepakati untuk menjadikan sebuah (Komunitas meskipun tidak
disebut sebagai komunitas melainkan dengan sebutan Kelompok Diskusi) Kelompok
Diskusi “Sastra Kita”. Tujuan dibentuknya Kelompok Diskusi “Sastra Kita” ini
adalah untuk mendiskusikan masalah-masalah sastra yang berkembang di tanah air
pada saat itu. Memperbincangkan para sastrawan ‘besar’ yang saat itu mengklaim
dirinya sebagai “Sastrawan Naga” yang memandang sebelah mata terhadap
“Sastrawan Cacing”
Sejak itu, paling tidak sebulan
sekali, anggota Kelompok “SASTRA KITA” mengadakan diskusi tentang masalah
sastra yang berkembang pada saat itu. Namun, kegiatan yang diadakan dari rumah
ke rumah (anggota komunitas) ini dirasakan kurang memberikan sumbangan bagi sastra
secara lebih luas.
Karena
itu kelompok “SASTRA KITA” mengadakan diskusi (untuk membahas karya sastra dan
memotivasi anak-anak pelajar slta untuk mencintai karya sastra) dari sekolah ke
sekolah. Dari kegiatan ini, lalu bergabunglah beberapa orang penulis (penulis
cerpen, cerita anak, penyair, mahasiswa, dan pelajar slta) di antaranya: Murni Setiawati, Mariam Bahmid, Wahyuni
Puji Saraswati, Nani Mutiara, Toto Sugiarto, Gunawan Maulana, Apin, Amazone
Dalimunthe, Lucy, Ida Simatupang, dan Haris Barata. Namun, kegiatan ini
tidak tiap bulan dilaksanakan dan hanya terbatas pada beberapa sma di Jakarta.
Lantaran para ‘aktivis’ SASTRA KITA tidak hanya sebagai seorang sastrawan.
Melainkan ada yang juga bekerja sebagai karyawan, wartawan, guru, dan
mahasiswa. Hingga mereka seringkali tidak bisa mensinkronkan waktu antara satu
orang dengan lainnya untuk membahas kegiatan tersebut.
Meskipun telah melakukan kegiatan
dari satu SMA ke SMA (sekarang SMU) lain, para pendiri Kelompok Diskusi SASTRA
KITA, merasa belum puas dengan kegiatan ini.
Karena
itu Kelompok diskusi “SASTRA KITA” menerbitkan sebuah buletin yang diberi nama
“SIKAP”. Buletin ini didanai oleh pribadi dari beberapa pendiri “SASTRA KITA”.
Buletin (berisi cerpen, puisi, ulasan karya sastra, dan tanya jawab tentang
susastra) berupa fotocopy-an ini menjadi semacam media ‘diskusi’ antar
anggotanya. Karena anggota kelompok SASTRA KITA mulai tersebar di beberapa kota
di Jawa. Sayangnya buletin “SIKAP” hanya sempat bertahan hingga tujuh edisi.
Setelah itu tidak terbit lagi.
Kegiatan lain yang dilakukan anggota
kelompok “SASTRA KITA” adalah saling melempar isu tentang susastra yang
berkembang pada saat itu di media cetak. Berpolemik di media cetak, di samping
itu – tentu saja – tetap menulis karya sastra (baik cerpen maupun puisi) untuk
didiskusikan dalam pertemuan rutin (intern) anggota kelompok “SASTRA KITA” yang
tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
Selain kegiatan-kegiatan tersebut di
atas, kelompok “SASTRA KITA” juga menerbitkan buku karya sastra (kumpulan
puisi, antologi cerpen dan puisi) dengan didanai oleh penulisnya sendiri.
Penerbitan buku secara swadaya ini mengingat bahwa pada saat itu karya sastra
(terutama puisi) tidak laku untuk dijual. Sementara itu, diakui atau tidak,
yang akan dipertimbangkan oleh sebuah perusahaan penerbitan buku bukan
semata-mata naskah tersebut laik terbit atau tidak. Melainkan juga akan laku di
pasaran atau tidak. Berpijak dari arah inilah, hanya dengan ‘modal’ idealisme
(dan modal nekad) anggota kelompok “SASTRA KITA” (dan simpatisannya)
menerbitkan karyanya sendiri.
Dalam rentang waktu kurang lebih
duabelas tahun, sejak terbentuknya Kelompok “SASTRA KITA” setidaknya sudah lima
belas buku yang telah diterbitkan oleh “Kelompok Sastra” antara lain:
- Empat Melongok Dunia (thn penerbitan 1984 - antologi puisi dan cerpen) oleh Humam, ayid, Nanang, dan Harianto.
- Suara-suara (1985 - kumpulan puisi) Karya Nanang R. Supriyatin.
- Balada Sarinah (1985 - kumpulan puisi) karya Diah Hadaning
- Sketsa Sastra Indonesia (1986 - antologi 27 penyair nusantara)
- Sang Matahari (1986 - kumpulan puisi) karya Diah Hadaning
- Tling tlung (1986 - kumpulan puisi) karya Pudwianto Arisanto.
- Penyair Luka (1987 - kumpulan puisi) karya Ayid Suyitno PS.
- Nyanyian Bukit karang (1987 - kumpulan puisi) karya Ang Tek Khun.
- Memelihara cinta (1995 - kumpulan Puisi) karya Ayid Suyitno PS.
- Kabar Keluh (1995 - kumpulan puisi) karya Ayid Suyitno PS
- Prosa Pagi Hari (1995 - kumpulan puisi bekerja sama dengan Penerbit Agiamedia) karya Nanang R. Supriyatin.
- Lagu Kesunyian (1995 - kumpulan puisi) karya Ayid Suyitno PS.
- Surat Bugil (1996 - kumpulan puisi) karya Pudwianto Arisanto.
- Di Sekitar Puisi (1997 - kumpulan esei sastra) karya Ayid Suyitno
- Kalah atau Menang (1997 - kumpulan puisi) karya: Pulo Lasman Simanjuntak.
Buku-buku
tersebut di atas hanya dua judul yang sempat beredar di toko buku (di Jakarta)
yaitu: buku Empat Melongok Dunia dan Sketsa Sastra Indonesia.
Buku yang lainnya hanya beredar di kalangan terbatas – tidak dijual di toko
buku. Dan kepada para peminat buku hanya dimintai prangko pengganti ongkos
kirim.
Selain
menerbitkan buku (tersebut di atas) dan melakukan diskusi sastra di sma,
kegiatan lain yang pernah dilakukan oleh Kelompok “SASTRA KITA” adalah
mementaskan musikalisasi puisi dan cerpen yang bertemakan
“PERANG” (yang diambil dari antologi cerpen dan puisi “empat melongok Dunia”).
Yang merupakan ekspresi keprihatinan anggota kelompok SASTRA KITA setelah
ditemukannya senjata-senjata mutakhir untuk berperang (baca: untuk menghabisi
nyawa manusia). Namun, pementasan yang dipergelarkan di Pasar Seni jaya Ancol
pada tanggal 20 September 1985, dan hanya mendapatkan ‘honor’ makan malam
dengan nasi bungkus ini dinilai kurang memuaskan oleh kelompok SASTRA KITA
sendiri.
Sejak tahun 1990, karena berbagai
kesibukan anggotanya, SASTRA KITA tidak lagi aktif – melakukan kegiatan diskusi
atau mengunjungi sma seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Meski masih
menerbitkan buku, kegiatan yang dilakukan “SASTRA KITA” tak lagi aktif seperti
tahun-tahun sebelumnya. (sudah tidak pernah lagi kumpul-kumpul untuk
berdiskusi, kecuali hanya saling kunjung mengunjungi di antara anggotanya). Hal
ini disebabkan para personilnya pindah alamat, dan ada pula yang karena
kesibukan keluarga (ketika kelompok diskusi “SASTRA KITA” dibentuk belum ada
satu pun anggotanya yang sudah berkeluarga), ada pula yang sibuk dengan
pekerjaan yang ditekuninya hingga tidak lagi berkiprah dalam dunia susastra.
Karena komunitas sastra ini
merupakan organisasi tanpa bentuk (hanya semacam kelompok diskusi), maka tidak
ada yang menduduki jabatan ketua, sekretaris, bendahara dan jabatan struktural
lainnya. Yang ada hanya pendiri dan anggota. Sedangkan cara kerja yang
dilakukan oleh kelompok “SASTRA KITA” dengan cara dikerjakan bersama-sama
(tidak ada pembagian tugas secara khusus) melainkan hanya berdasarkan siapa
yang sempat. Semacam paguyuban atau sambatan (seperti tradisi membangun
rumah di daerah Jawa beberapa tahun yang lalu). Semua anggota berusaha saling
membantu satu sama lain.
Kelompok
diskusi “SASTRA KITA” tidak menganut ideologi tertentu. Melainkan hanya karena
perasaan yang sama sebagai penulis muda kurang mendapatkan (baca: hanya
dipandang sebelah mata) perhatian oleh sastrawan senior dan penerbit buku.
Pada tahun 1996, kelompok “SASTRA
KITA” bergabung dengan KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang dimotori oleh
Wowok Hesti Prabowo. Nah, sejak bergabung dengan KSI dengan sendirinya “SASTRA
KITA” menjadi bagian dari KSI. Meskipun sampai saat ini “SASTRA KITA” tak
pernah secara resmi bubar. Dan sebagian pendiri dan aggota “Sastra Kita” (yang
masih berkiprah di dunia karya sastra) sebagian menjadi aktivis KSI. Karena
sebagian anggota kelompok diskusi SASTRA KITA sudah tidak lagi berkiprah dalam
dunia sastra. (Humam S. Chudori)
Juni 2012
Keren. Lebih keren lagi jika ada biodata pendirinya, serta keberadaannya saat ini.
BalasHapus