Kamis, 08 Maret 2018

Busana Burqa dan Jejak Sejarah Wanita Indonesia

Jakarta,BeritaRayaOine,-BURQA DAN JEJAK SEJARAH WANITA INDONESIA – Semakin lama, semakin sering saja saya melihat gadis gadis pemakai burqa di daerah Depok, kota di mana saya tinggal. Dan jumlah mereka semakin banyak saja. Mereka kelihatannya pelajar dan mahasiswa – notabene kaum intelektual. Karena kemana mana membawa buku dan diktat.  Saya tidak mengerti jalan pikiran mereka.

Mereka adalah kumpulan manusia “Indonesia baru” yang terlepas dari akar sejarah dan budaya Nusantara. Mereka tidak mengenal para petani dan orang orang desa di kawasan Nusantara  - nenek moyang mereka - yang selama berabad abad  tidak mengenal dan tidak memakai burqa. Mereka manusia yang tercerabut dari budaya leluhur kita.

Keluarga besar saya petani dan pemilik kebon. Terkenang masa kecil, setiap hari dengan setengah telanjang mereka turun ke sawah atau ke kebon. Perempuan berkain dan mengenakan kutang (dari kain blacu) ala kadarnya, karena cuaca panas dan ekonomis. Lelakinya hanya bercelana pendek dan memegang arit atau memanggul cangkul. Itulah pemandangan yang bisa terlihat di seantero Nusantara.

Mendadak muncul kaum mukimin yang mengalami gegar budaya di Timur Tengah, karena dapat beasiswa belajar di sana, pada dekade 1980-an1990an - lalu “mengimpor” budaya mereka ke sini -  kampanye jilbabisasi dan menjajakan burqa. Dan anehnya laku.

Burqa adalah pakaian yang dikenakan kaum Arab Timur Tengah, baik kaum Yahudi, Kristen maupun Muslim, sesuai warisan budaya mereka berabad abad. Dan sebagian generasi muda Indonesia mencaploknya tanpa berpikir sama sekali.

Orang orang barat - dan saya juga - menganggap burqa sebagai pengekangan dan penindasan, karena pemakaianya tidak bebas tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. Alam pikiran mereka dikuasai oleh swaksangka kaum laki-laki, yang seharusnya setara dengan mereka.

Seabad yang lalu, Raden Ajeng Kartini, diinspirasi oleh intelektual Belanda, mengkampanyekan emansipasi, persamaan hak. Kesetaraan, memperoleh pendididikan dan hak hak dasar bagi perempuan.  Menyusul Dewi Sartika di Jawa Barat dan Rohana Kudus di Sumatra Barat - yang melanjutkan perjuannnya, dan hasilnya seperti yang kita lihat sekarang ini. Indonesia punya DR. Sri Mulyani, Susi Pudjiasturi, jendral, penerbang, dokter, penguasa dan bahkan jendral wanita. Pewujud dan penerus cita cita RA Kartini Ibu Dewi Sartika dan Rohana Kudus.

Sungguh ironis, mendadak menyelinap ajaran sesat yang membuat perempuan Indonesia berburqa. Sesat karena tidak ada runtutan sejarahnya di sini. Kita mengenal ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, keadilan, kesamaan antara Sultan dan rakyat, tapi tidak menerima budaya yang memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang dikurung rapat dari ujung kepala hingga kaki.

LEBIH IRONIS, di abad komunikasi yang mengglobal ini - ketika perempuan perempuan Arab Saudi merindu rindu kebebasan, berjuang keras agar boleh menyetir mobil sendiri, nonton bioskop dengan pasangan, moderat dan hidup ala orang Barat, justru segelintir anak muda Indonesia malah memenjarakan diri sendiri, mengurung diri, bergaya keArab-araban, puritan, akibat pemahaman ajaran picik yang ditelan bulat-bulat.

Burqa merusak tata pergaulan antar manusia. Perempuan berburqa bikin repot petugas keamanan, polisi, imigrasi, sipir penjara, petugas kelurahan, guru dan dosen, serta semua saja yang berkomunikasi dengan mereka. Sebab perempuan berburqa bisa melihat kita keseluruhan, sedangkan kita tidak bisa melihat mereka.

Saya mendukung keputusan rektor UIN Kalijaga yang melarang mahasiswanya berburqa di kampus. UIN adalah lembaga pendidikan yang dibiayai negara, dan negara Indonesia menganut ajaran yang terbuka, toleran, bukan puritan. 

Terbayang, betapa repotnya dosen mengajar mereka. Apakah yang sedang mendengar kuliah mereka si Nur atau Aminah, atau Siti – tidak pernah jelas, karena cuma mata mereka yang tidak kelihatan. Ekspresi yang terbaca hanya saat berkedip kedip. Lebih lebih kalau ada ujian. Jangan jangan ada orang lain yang mengerjakannya bukan mahasiswa yang bersangkutan.

Setiap lembaga punya aturan dan tegas. Bukankah pesantren tak boleh dimasuki pengunjung berpakaian tak senonoh? Bukankah tentara dan polisi tidak bisa gondrong dan berjenggot, pegawai bank laki laki tidak bisa pakai anting di kantor, dan banyak lagi.

Di Jakarta, Anda tidak bisa diterima sebagai sopir taksi Bluebird, kalau tubuh kedapatan bertato, sekecil apa pun.

Setiap lingkungan punya aturan yang ditegakkan. Dan itu tak ada hubungannya dengan HAM dan keyakinan. Jangan bawa bawa UUD 1945 . Karena UUD 1945 dibuat oleh bangsa Indonesia, untuk bangsa Indonesia, bukan untuk orang-orang yang kerasukan budaya Arab Timur Tengah.

(**/dikutip dari facebook dimas supriyanto/jumat pagi/9/3/2018)

Editor : Lasman S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar